Melihat fenomena sosial seperti itu, Siswanto ikut tergerak untuk mengelolanya menjadi sebuah gerakan sosial kemanusiaan di wilayahya. Ia mulai mengkoordinasikan kegiatan tersebut, dengan tujuan menjaga supaya penyaluran bantuan bisa berlangsung lebih merata dan tepat sasaran. “Alhamdulillah sampai sekarang di empat RW itu masih berlangsung pembagian paket bantuan,” katanya.
Setiap pekan, mulai hari Jumat sampai dengan Minggu, di RW 3, RW 10, RW 14 dan RW 18, penyaluran paket bantuan dilakukan secara bergiliran. Jumlah paket yang dibagikan berkisar antara 100 sampai dengan 180 paket. “Setiap paket berisi sayuran selain beras, telur, daging ayam dan lain-lain,” lanjutnya.
Dengan jadwal seperti itu, nyaris setiap akhir pekan ia menunda urusan keluarganya untuk mendampingi warga pada pembagian paket. “Ya saya hanya bisa berkorban waktu dengan ikut menyaksikan pendistribuan paket bantuan di keempat RW tersebut,” katanya.
Ia menilai itulah kontribusi dirinya sebagai pimpinan wilayah kelurahan. Kontribusi itu dirasa belum seberapa nilainya dibanding kontribusi dari mereka yang telah berbagi harta dan rasa kepeduliannya. Tidak hanya dirinya yang berkontribusi seperti itu. Di keempat RW ini memang tidak semua warganya tergolong mampu secara ekonomi.
“Tetapi mereka tetap berkontribusi dengan menunjukan kepeduliannya kepada sesama. Mereka selalu aktif dalam kegiatan sosial ini, mulai dari mengemas paketnya dan membantu distribusinya,” tutur Siswanto.
Mereka yang bersikap seperti itu memiliki prinsip yang inspiratif bagi siapapun. Mereka mengatakan, “Peduli itu tidak harus menunggu kita mampu (kaya), tetapi yang penting adalah mengelola hati kita untuk bisa tergerak dan mau membantu mereka yang memerlukan bantuan.” Kata-kata dari seorang warganya ini yang terngiang-ngiang diingatan Pak Lurah muda ini.