Muthalib sendiri sudah menyaksikan bagaimana permukaan waduk yang sungguh hauh di atas batas atas Tinggi Muka Air (TMA). Jika dibiarkan, air takkan bisa menanggung beban hujan yang masuk. “Makanya saya menyarankan agar menurunkan TMA,” imbuhnya.
Muthalib juga menjabarkan, beberapa bencana yang datang baru-baru ini memang dipengaruhi kondisi topografi wilayahnya. “Karena kondisi Jawa Barat, topografinya bergunung-gunung. Akhir musim kemarau juga tanah menjadi kering, lalu langsung dihantam hujan lebat. Sedangkan, daya rekat terhadap air kurang maksimal. Itu pula yang mengakibatkan longsor,” papar lelaki yang pernah bertugas di Sulawesi Selatan (Sulsel) ini.
Meski begitu, masyarakat tak jarang antusias menyambut musim hujan. Bahkan, rutinnya air melimpah dari langit itu dinilai bisa menjadi salah satu aset ketersediaan air bersih bagi masyarakat. Namun, kenyataannya pasokan justru menurun di kala musim hujan berlangsung tiada ampun.
Direktur Teknik PDAM Tirta Pakuan, Ade Syaban Maulana menjelaskan, hujan bukan menjadi satu-satunya alasan debit air menjadi semakin banyak. Hujan ekstrem justru mengganggu proses penjernihan air yang selama ini diprakarsai mesin-mesin canggih PDAM. Alasannya, tingkat kekeruhan air meningkat tajam.
“Kita ini serba salah. Kemarau tidak ada air, musim hujan malah kita tahan-tahan air. Makanya, kita sebenarnya cenderung lebih suka kalau hujan biasa-biasa saja,” cetusnya, saat bertandang ke Radar Bogor.
Menurutnya, hujan memang bisa menjadi aset bagi pengolahan air bersih jika semua pengelolaanya sudah benar-benar terpadu. Sayangnya, kekuatan pengolahan air bersih milik PDAM Tirta Pakuan juga mengalami keterbatasan.
Mereka hanya bisa menampung kekeruhan tertinggi di rentang 600-1.000 NTU (Nephelometric Turbidity Units). Sumber air baku yang mereka pakai dominan air permukaan, dari dua sungai besar, yakni Ciliwung dan Cisadane.