Ia sempat menawarkan uang untuk menggantikan beberapa lembar pakaian elok yang dibawanya. Sayangnya, ditolak secara halus oleh anak-anak muda Pasar Gratis Bogor.
Hal-hal semacam itulah yang kerap dijumpai Takiyuddin Salim dan Rajari setiap kali melapak di beberapa titik Kota Bogor. Mereka membuktikan, masih banyak masyarakat yang tak tersentuh bantuan selama pandemi. Tak heran, apa pun yang ditawarkan gerakan Pasar Gratis Bogor menjadi semacam oase di tengah situasi krisis yang berkepanjangan.
Salah satu pentolan Pasar Gratis Bogor, Takiyuddin sudah berulang kali merasakan sendiri desir-desir halus di dadanya. Kebahagian itu meluap dari sekadar senyuman dan ucapan terima kasih warga. Interaksi yang benar-benar tulus, bukan karena transaksi. Mereka, rakyat kecil, benar-benar ikut terwakili dengan kemunculan Pasar Gratis Bogor.
“Banyak yang bilang, kita gerakan amal. Padahal bukan. Berkali-kali kami selalu bilang bahwa kami bukan gerakan kemanusiaan ataupun bakti sosial. Ini cara protes dan sindiran kami secara tidak langsung kepada pemerintah,” tegas lelaki berusia 20 tahun ini.
Gerakan itu memang murni muncul dari keresahan Taki dan temannya, Raja dalam mengamati situasi krisis di tengah pandemi, Mei silam. Pemerintah dianggap terlalu lamban dalam memberikan bantuan kepada masyrakat yang terdampak. Bahkan, banyak pula yang sama sekali tak mendapat bantuan yang selama ini digembar-gemborkan pemerintah, baik daerah maupun pusat.
Taki bercerita, keresahan itulah yang menggerakkan kaki dan tangan mereka menuju ke jalan. Gerakan yang sama telah lebih dulu muncul di kota lain, yakni Bandung. Tersisa, mengadaptasi dan mengaplikasikan metode serupa di wilayah Bogor.
“Raja yang awalnya mengajak saya, karena kebetulan kami teman semasa sekolah dulu. Saya langsung sambut dan bergerak mengumpulkan donasi dari teman-teman, via media sosial (medsos) juga, seperti Twitter dan Instagram. Hasilnya, lumayan banyak dan bisa kami salurkan kepada masyarakat dalam bentuk melapak pasar gratis itu,” beber Taki.