CIBINONG-RADAR BOGOR, Kasus kekerasan pada anak meningkat selama pandemi Covid-19, terutama paska pemerintah menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) saat pandemi Covid-19.
Berdasarkan laporan yang diterima Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), peningkatan kasus kekerasan pada anak terjadi selama lima bulan terakhir.
Terdapat 3.000 kasus kekerasan anak, termasuk kasus kekerasan seksual terjadi sejak awal Maret hingga Agustus 2020.
“Memang catatanya adalah hulu perlindungan anak berada di keluarga,” kata Kepala Divisi Pengaduan KPAI, Susianah Affandy kepada Radar Bogor, Senin (9/11/2020).
Menurut dia, tantangan dimasa pandemi Covid-19, permasalahan pandemi bukan masalah kesehatan saja, tetapi berimplikasi kepada permasalahan ekonomi keluarga.
“Ketika ekonomi keluarga punya masalah, kemudian pola kekerasan yang sudah tersosialisasikan dari kepala keluarga kepada ibunya, ibu kepada anak, kenapa anak menjadi sasaran keluarga, dia tidak bisa melawan,” katanya
Kedua, masalah pendidikan jarak jauh (PJJ) menjadi masalah baru pada pola hubungan keluarga, terutama yang pengetahuan digitalnya rendah dan tidak sabar membimbing anak.
Pada akhirnya, orang tua kerap kali meluapkan amarahnya ketika anaknya tak dapat mengikuti pelajaran PJJ.
“Banyak hal yang bisa memicu orang tua, atau keluarga melakukan kekerasan kepada anak,” katanya.
Susianah mengaku aduan kekerasan anak sangat tinggi kepada KPAI, disisi lain orang tua selain melakukan pencegahan dan melindungi anaknya, kewajiban lainnya memberikan pengasuhan yang baik.
Susianah juga menyoriti kasus eksploitasi anak ketika musim Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Karena, anak sangat rentan menjadi bahan ekspoitasi.
Untuk itu, orang tua harus tahu bermain dengan siapa, dan harus mencari tahu ketika anak berpergian.
“Karena banyak orang tua tidak tahu pergi kemana tahunya ikut demo, artinya ini melanggar UU. Karena harus terlindungi dari eksloitasi politik, jadi memang tantangan perlindungan anak sangat besar di pandemi Covid-19,” ucapnya.
Dari total 3.000 data yang diadukan, perempuan kelahiran Lumajang Desember 1978 itu menyebutkan kasus kekerasan seperti fenomena gunung es.
Karena, permasalahanya tidam semua mau melaporkan kekerasan kepada pihak berwajib karena yang dilaporkan merupakan keluarga sendiri.
“Data 3.000, apalagi angka kekerasan seksual anak juga tinggi, bukan menggambarkan fakta sesungguhnya,” tukasnya.(ded)