Ia menambahkan, besaran nominal UMK itu seharusnya tak dilihat dari segi angka saja. Menurutnya, UMK yang telah ditetapkan sebelumnya pun tidak diterapkan secara merata oleh semua perusahaan. Hal itu yang seharusnya ikut menjadi ukuran, lantaran UMK yang tinggi tak menjamin semua perusahaan akan menerapkannya.
“Jangan kita melihat hanya dari sisi angka, tapi kebermanfaatannya bisa diterapkan gak? Jangan muluk-muluk diterapkan dengan angka, tapi tingkat pengangguran justru semakin melebar. Kita juga kalau menaikkan justru akan semakin banyak berdampak di masa pandemi, baik perusahaan maupun karyawan,” papar mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) ini.
Ia sendiri pun sangsi dengan beberapa wilayah yang justru nekat mendongkrak UMK pada masa pandemi ini. Sedangkan, pertumbuhan ekonomi secara nasional mengalami penurunan. Semua daerah yang memiliki UMK tinggi sejalan dengan angka pengangguran yang tinggi dan juga akan semakin terbuka lebar.
Banyak unsur lain yang justru memicu pemda lainnya memaksakan diri menaikkan UMK masing-masing. Sebut saja misalnya, Kabupaten Bogor, yang justru menaikkan angka UMK menjadi sekitar Rp4,2 juta. Secara otomatis, kenaikan itu membuat daerah “kandung” Kota Bogor itu mempunyai UMK yang lebih tinggi.
Kendati demikian, besaran UMK Kota Bogor yang stagnan itu masih berpeluang untuk dievaluasi. Pihaknya berhasil mengajukan permintaan kepada Pemprov Jawa Barat untuk melakukan evaluasi pada paruh tahun 2021 mendatang.
Catatannya, kata Elia, pertumbuhan ekonomi di Kota Bogor harus menunjukkan tren yang baik. Dengan begitu, ada landasan kuat untuk menaikkan UMK Kota Bogor.
“Baru kali ini kita bisa dievaluasi. Kita mengajukannya agar dievaluasi tahun 2021 dan ternyata disetujui Pemprov Jabar. Artinya, kami sudah semaksimal mungkin mengupayakan yang terbaik demi iklim tenaga kerja yang kondusif di Kota Bogor,” pungkasnya. (mam/c)