BOGOR–RADAR BOGOR, Pandemi Covid-19 terus memberikan dampak negatif bagi perusahaan dan pekerjanya di Kota Bogor. Total sebanyak 1.052 orang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dan 3.050 orang yang dirumahkan.
Secara otomatis, jumlah itu menunjukkan angka pengangguran yang terjadi selama pandemi. Data yang diperoleh dari dinas tenaga kerja (disnaker) itu berasal dari situs pengaduan yang disediakan Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor sejak awal pandemi. Itu artinya, jumlah orang yang dirumahkan hingga terkena PHK sebenarnya masih lebih banyak lagi.
Kepala Disnaker Kota Bogor, Elia Buntang menyebutkan, PHK paling banyak terjadi pada September silam. Sebuah perusahaan di Kota Hujan sampai “memutus” 416 pekerjanya. Itu lantaran tak ada tren positif dalam pertumbuhan ekonomi selama beberapa bulan terakhir.
Tak pelak, jumlah itu semakin membuat angka pengangguran meningkat tajam.
“Jumlah orang yang kena PHK itu dari total sekitar 300 perusahaan di Kota Bogor. Sedangkan yang dirumahkan itu sejak April, dari layanan yang kami buka sejak awal pan demi. Makanya kita dapat data itu, baru kita verifikasi ke perusahaannya, akhirnya kita dapat data valid itu,” bebernya kepada Radar Bogor.
Tentu saja, lanjut Elia, jumlah itu masih akan terus meningkat. Ia memperkirakan hal demikian lantaran melihat pertumbuhan ekonomi yang belum membaik. Ditambah lagi, beberapa perusahaan juga terancam gulung tikar.
Meskipun pada tahun ini belum ada yang tercatat menutup operasionalnya, namun ia mendapatkan laporan bahwa justru tahun depan akan ada perusahaan yang menutup pabriknya.
“Melihat kondisinya (ekonomi) hari ini, bukan dikhawatirkan lagi, tapi bisa dipastikan ada yang gulung tikar (tahun depan) kalau sama sekali tidak ada perubahan terkait kondisi pandemi ini,” beber mantan kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bogor ini.
Oleh karena itu, keputusan untuk tidak memaksakan kenaikan upah minimum kabupaten/ kota (UMK) dianggap menjadi salah satu langkah strategis.
Pasalnya, kenaikan upah itu bisa memengaruhi beberapa perusahaan. Mereka yang kesulitan dalam hal operasional masih akan dibebani dengan tuntutan kenaikan upah.
Jika demikian, tentu saja bakal berimbas dengan efisiensi perusahaan melalui PHK atau merumahkan karyawan.
“Artinya, kalau UMK dipaksakan naik, jadi semakin berguguran (perusahaan dan karyawannya). Masa kita mengorbankan ratusan pekerja itu. Untungnya, baru kali ini juga kita ada evaluasi untuk keputusan gubernur terkait UMK itu (yang stagnan). Jadi, tetap ada evaluasi tahun depan,” tandas Elia.
Orang-orang yang terdampak pandemi itu memang berpotensi menambah angka pengangguran. Meski begitu, beberapa di antara para pekerja yang terkena PHK maupun dirumahkan mulai menyasar usaha dan bisnis kecil-kecilan di bidang UMKM.
Kepala Dinas Koperasi dan UMKM (Diskop) Kota Bogor, Samson Purba membenarkan, jumlah UMKM memang mendadak mengalami lonjakan selama pandemi.
Penyebabnya, para pekerja yang terdampak terpaksa banting setir dan menjajal berbagai bidang usaha agar dapurnya tetap mengepul. Total sebanyak 10 ribu UMKM terdaftar melalui database Diskop Kota Bogor. (mam/c)