BOGOR-RADAR BOGOR, Nia tersentak dari tidurnya. Sesuatu bergerak-gerak dari perutnya. Kontraksi hebat sedang berlangsung pada kandungannya. Padahal, usia jabang bayinya itu baru menginjak tujuh bulan. Dokter pun telah memperkirakan kelahiran sang bayi pada Mei.
Akan tetapi, Nia sudah dihadapkan dengan ketegangan yang berlangsung dua bulan lebih cepat itu. Sementara sang suami masih bekerja di Jakarta. Ia tak bisa mengharapkan pasangannya. Sampai kontraksi itu semakin hebat menjelang waktu subuh, ia terpaksa menghubungi adiknya, Tini.
Tini yang mengetahui tanda-tanda persalinan itu segera mengemasi barang di rumahnya. Selepas subuh, Tini dibantu suaminya, segera membawa Nia ke puskesmas terdekat.
Mereka harus menyusuri deretan anak tangga terjal di antara rumah-rumah warga untuk memangkas jarak terdekat. Rintik-rintik hujan telanjur berbaur dengan peluh di badan.
Sayangnya, bayi dalam perut Nia sudah tak bisa menunggu lebih lama. Di tengah kepanikan Tini dan suaminya, ia tak bisa bertahan lebih lama untuk berjalan kaki.
Tenaganya beralih kepada isi perut yang dirasanya keluar sebentar lagi. Karena tak tahan lagi, bayi mungilnya lahir di tanjakan Jembatan Sukoyo.
Kejadian pada Februari silam itu, yang selalu membekas dalam ingatan Nia Kurniasari, warga Kampung Lebak Sari. Barangkali, ingatan itu sekaligus menjadi cerita turun-temurun yang akan diteruskan kepada sang anak. Kejadian itu sekaligus menjadi catatan tragis untuk sejarahnya kelak.
“Untungnya waktu itu Teh Nia posisinya agak jongkok. Waktu bayi tiba-tiba keluar, langsung saya tangkap. Sempat minta tolong warga sekitar. Waktu itu ada bapak-bapak yang mau berangkat kerja. Akhirnya kita dibantu memapah sampai jalan raya. Kita langsung ke Puskesmas Bogor Tengah,” tambah Tini, yang mendampingi kakaknya menjumpai Radar Bogor.
Beruntung, bayi yang dianugerahi nama Annaila Nur Asiyah itu masih bisa diselamatkan pihak puskesmas. Anak keempat Nia itu kini tumbuh menjadi gadis kecil yang menggemaskan.
Kelak, ketika ia bertanya tentang tanggal lahirnya kepada sang ibu, maka 25 Februari 2020 akan menuntunnya pada rangkaian cerita persalinan di tengah jalan itu.
Sebenarnya, Nia bukan satu-satunya ibu yang melahirkan di luar fasilitas kesehatan karena kurangnya akses ke jalan utama. Tercatat, tiga kasus yang sama terekam dalam tutur cerita Kampung Lebak Sari.
Bahkan, orang-orang yang sakit dan mesti ditandu hingga ke jalan raya menjadi cerita yang “lazim” di wilayah, yang hanya berjarak sepelemparan batu dari jalur Sistem Satu Arah (SSA).
Jalan di tengah perkampungan itu sangat sulit dilalui kendaraan roda dua. Warga mesti menyusuri lika-liku gang sempit dengan kontur permukaan tanah tidak rata. Tentu saja, hal itu yang membuat warga terpaksa berpikir dua kali untuk membawa orang-orang sakit dengan motor.
Penggantinya, warga harus memakai eretan menuju ke kampung seberang, Cibalagung, Kelurahan Pasir Jaya. Sekali menyeberang, warga merogoh kocek Rp2 ribu.
Meski begitu, eretan itu juga sangat rawan dengan kondisi air sungai yang bisa tiba-tiba meluap. Warga tak berani menyabung nyawa dengan menumpang eretan itu. Apalagi, pernah suatu kali eretan itu hanyut terbawa arus sungai.
Terkait kesulitan akses tersebut, Ketua RW 09 Kampung Lebak Sari, Kelurahan Paledang, Mona Murniati, mengakui jika warga sudah sejak lama menginginkan adanya akses jembatan untuk memudahkan mobilitas semacam itu.
Tak terhitung lagi kejadian yang menimpa warga-warganya itu. Belum ada solusi konkret untuk memecahkan masalah akses tersebut.
Mona sendiri menjadi saksi hidup kejadian-kejadian tak mengenakkan karena terisolir itu. Orang tuanya menderita penyakit kronis dan sempat dilarikan ke rumah sakit.
Malangnya, jarak yang jauh memangkas waktu yang seharusnya bisa menjadi kesempatan untuk ditangani secara intensif.
“Kita di ring satu Kota Bogor, sangat dekat dengan Istana Bogor. Akan tetapi, kami merasa terisolir. Akses ke jalan raya cukup jauh, karena harus memutar dulu ke kampung lain. Kalau ada jembatan ke kampung seberang, pasti akan lebih dekat dan mudah,” keluh perempuan berusia 40 tahun itu di kediamannya.
Jembatan yang ada seharusnya bisa menghubungkan mereka dengan Kampung Cibalagung, Kelurahan Pasir Jaya. Aksesnya lebih dekat ke jalan raya. Tentu saja, mobilitas bisa lebih ringan dan mudah.
Sayangnya, mimpi jembatan itu tampaknya bakal sulit terwujud. Terhitung sudah tiga tahun janji itu dikemukakan Wali Kota Bogor. Bahkan, mereka nyaris bergembira karena sudah ada anggaran yang sempat disediakan lewat Pemkot Bogor. Janji dari Pemkot Bogor menguap jadi angan-angan belaka.
“Beberapa kali kita mengajukan ini (pembangunan jembatan), tetapi selalu gagal. Tahun 2017 sudah pernah diadakan pembahasan dengan pemkot Bogor. Rencananya direalisasikan 2018. Sudah ada anggarannya. Namun, tidak ada tindak lanjutnya,” kecewanya.
Menurut Mona, persoalan pembangunan jembatan sebenarnya tak mendapat restu dari kampung seberang, Cibalagung.
Persoalan jembatan antara dua kampung berseberangan itu pun pernah ditengahi pihak kecamatan hingga Wali Kota, Bima Arya secara langsung.
Dalam ingatan Mona, orang nomor satu Kota Bogor itu bahkan pernah menjanjikan untuk turun langsung. Namun seiring waktu, harapan itu terkubur.
Berangkat dari kekecewaan itu pula, warga pernah menggalang dana dengan label Seribu Koin Peduli Jembatan. Satire itu sebagai simbol protes terhadap akses yang belum terwujud.
“Kita hanya ingin warga Lebak Sari (Kelurahan Paledang) difasilitasi Wali Kota agar bisa melakukan mediasi juga dengan warga Cibalagung (Kelurahan Pasir Jaya),” imbuhnya. (mg1/mg2)