Jabar Setuju CDPOB, Pemekaran Desa Bisa Dorong Pembangunan

0
35
Asep Wahyuwijaya
Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat (Jabar), Asep Wahyuwijaya.
Asep Wahyuwijaya
Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat (Jabar), Asep Wahyuwijaya.

RADAR BOGOR – Rapat Paripurna DPRD Provinsi Jawa Barat, membahas sejumlah agenda, Jumat (4/12). Diantaranya, pembahasan dan penandatanganan persetujuan bersama tentang calon daerah persiapan otonomi baru (CDPOB) Kabupaten Bogor Barat, Sukabumi Utara, serta Garut Selatan.

“Terkait soal persetujuan atas CDPOB di Jawa Barat, sebagaimana sering saya katakan diawal, political standing Pemprov dengan tegas dan terang benderang pasti setuju atas rencana CDPOB hingga tercapai  kondisi ideal yakni 37 hingga 40 Kota dan Kabupaten di Provinsi Jawa Barat,” papar Anggota DPRD Jawa Barat, Asep Wahyuwijaya kepada Radar Bogor.

Sehingga, kata dia, kalau sekarang tiga CDPOB yang menjadi prioritas sudah disetujui oleh DPRD Jawa Barat, lalu pusat pun mengesahkan berarti di Jawa Barat baru ada 30 kota dan kabupaten.

“Karenanya, kami mengharapkan agar CDPOB lainnya pun kembali muncul, agar kondisi idealnya tercapai, syukur-syukur bisa sampai 40 kota dan kabupaten sebagaimana perbincangan di DPRD Prov. Jawa Barat,” ungkap pria yang juga Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRD Provinsi Jabar tersebut.

Lebih lanjut ia mengungkapkan, yang menjadi wacana kedua adalah soal isu pemekaran desa. Legislator dari Dapil Kabupaten Bogor itu menegaskan, di DPRD Provinsi Jawa Barat wacana tersebut sudah terus digulirkan.

“Harapan kita, di Provinsi Jawa Barat ini dengan banyaknya jumlah penduduk di desa yang mencapai 11.000 jiwa lebih, bisa juga dilakukan pemekaran desa,” tegas kang AW (sapaan akrab,red).

Dengan begitu, sambung kang AW, diharapkan di Jawa Barat pun akan mencapai sekitar 9.000 desa. Mekanismenya, sambung dia, jauh lebih mudah karena rapat paripurnanya cukup di DPRD kabupaten.

Muncul pertanyaan, mengapa CDPOB dan pemekaran desa itu menjadi sebuah keharusan di Provinsi Jawa Barat ?

“Jawabannya, tentu saya harus berdiri dengan menggunakan kaca mata Pemerintah Provinsi terkait dengan soal timpangnya Dana Transfer Daerah dan Desa yang saat ini kondisinya masih amat jomplang,” ungkapnya.

Misalnya, tutur dia, jika dibandingkan dengan Jawa Tengah yang besaran alokasi dana desanya Rp2 Triliun lebih banyak ketimbang Jawa Barat.

“Jadi, isu pemekaran kota atau Kabupaten dan pemekaran desa itu jangan hanya dipandang secara normatif demi mendekatkan pelayanan publik an sich, tetapi secara praktis juga harus menjadi instrumen percepatan pembangunan hingga ke akar rumput yang dampaknya meningkatkan kesejahteraan warga,” katanya.

Ia menambahkan, dua agenda besar itu bisa dilakukan dengan cara melakukan pemekaran dan ketersediaan kucuran anggaran yang sifatnya given.

“Diam saja diberikan. Saya mendengar bahwa ada para kades yang enggan desanya dimekarkan padahal jumlah penduduknya sudah melebihi karena khawatir DD (dana desa)-nya dibelah dua,” tuturnya.

Menurutnya, tentu hal tersebut pemikiran yang sempit dan kurang wawasan, karena faktanya tak seperti itu. “Saya beri contoh, saat saya reses di sebuah desa yang penduduknya berjumlah 14 ribuan, DD-nya hanya sekitar Rp1,2 Miliar lalu saat reses di desa lainnya yang jumlah penduduknya 7 ribuan, besaran DD-nya adalah Rp900 jutaan,” jelasnya.

Maka, dapat hitung jika satu desa yang jumlah penduduknya 14 ribuan itu dimekarkan jadi dua desa, maka total DD yang akan diperoleh akan menjadi Rp1,8 Miliar.

Kang AW mengungkapkan, besaran rata-rata DD tiap desa sebagaimana disampaikan Menteri Dalam Negeri sekitar Rp900 jutaan. “Sehingga buat para kades pun justru bebannya akan lebih ringan, mengecil memang anggaran desanya tetapi warga yang diurusin pun jauh lebih sedikit,” ucapnya.

Kondisi tersebut, yang terjadi di desa-desa di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

“Jalan lingkungannya menjadi bagus-bagus dan mulus. Pemkab pun tak pusing dengan aneka pembangunan di desa, jalan lingkungannya, selokan irigasinya lah, karena semua sudah bisa dilakukan oleh pemerintah desanya,” ungkapnya.

Kang AW kembali menegaskan, komitmen untuk menyejahtrakan rakyat harus berangkat dari keberadaan ruang fiskal yang cukup.

“DOB bagi Jawa Barat tetap penting karena masih banyak Kabupaten yang padat penduduknya, bagi Kabupaten Bogor sendiri jangkauan pelayanan publiknya sekarang sudah kesulitan untuk di-handle oleh Cibinong selain karena faktor luasannya juga karena beban kepadatan penduduknya,” kata dia.

Di sisi lain, pelayanan publik oleh warga pada satuan pemerintahan terkecil pun juga tak kalah pentingnya. Sehingga, posisi pemerintahan desa pun harus dibuat secara proporsional.

Ia mengakui, desa dengan jumlah penduduk diatas 10 ribu itu dipastikan tak akan maksimal dalam melakukan pelayanannya, karena jauh melebihi standar minimal jumlah penduduk yang ditentukan oleh Undang-Undang Desa yang untuk desa di Pulau Jawa minimal jumlahnya mulai dari 5.000 jiwa.

“Hemat saya, jika kita memang secara ingin serius mendekatkan pelayanan pemerintah kepada warga sekaligus juga untuk bisa dilakukan percepatan pembangunan pada wilayah akar rumput, maka bagi Kabupaten Bogor dan Provinsi Jawa Barat harus ada kerja yang simultan, membentuk DOB dan memekarkan desa yang sudah terlalu padat juga penduduknya,” ujarnya kepada Radar Bogor.

Sebab, apabila bicara pengesahan CDPOB sepenuhnya menjadi domain pemerintah pusat tentu mereka akan merujukannya pada situasi dan kondisi.

“Saya sendiri secara pribadi masih melihat pemerintah pusat sepertinya masih kesulitan mencabut moratoriumnya. Saya sendiri tentu berharap yang terbaik untuk semuanya,” pungkasnya. (*/cok)