Merintis Kampung Perca, di Sindang Sari Tajur

0
40

SUATU ketika, Nining Sriningsih merasa prihatin dengan kondisi beberapa tetangganya di lingkungan RW 01 Kelurahan Sindang Sari. Wanita paruh baya itu prihatin, karena diantaranya ada suami istri yang sering cekcok.

Bahkan ada pula yang istrinya sampai meninggalkan rumah. Semuanya gara-gara mereka terlilit hutang pinjaman di bank keliling. Jumlah warga setempat yang senasib ternyata cukup banyak. ”Saya jadi kasihan dan prihatin terhadap kondisi mereka,” ungkap istri Ketua RW 01 tersebut.

Pengalaman aktif selama 36 tahun bergerak di bidang sosial, agama, kesehatan, PKK dan sebagainya membuat hati Nining tergerak. Ia pun berpikir mencari solusi. Ia mengajak suaminya, Badri, Ketua RW 01, berdiskusi.

Kepada Badri, Nining mengungkapkan niat dan keinginannya membantu para tetangganya keluar dari himpitan masalah kesulitan ekonomi. Kemudian munculah ide untuk memberdayakan mereka. Terutama ibu-ibu, agar kelak mereka bisa memiliki penghasilan tambahan.

Akhirnya ia pun menghubungi Mardianto, tetangganya yang lain, pemilik tempat kursus jahit dan konveksi Harapan Antar Sesama (HAS). Gayung bersambut. Mardianto mendukung gagasan Nining untuk melatih para ibu menjahit.

Dia mempersilakan mesin-mesin jahit yang ada di tempatnya dimanfaatkan untuk berlatih. Begitupun sisa kain dan benang jahit yang tidak dipergunakan lagi, boleh dipakai.

Selanjutnya Nining menyampaikan niat tersebut kepada Lurah Sindang Sari dan istrinya. Dukungan pun bertambah. Apalagi, Enny Wulan, istri Lurah yang juga menjabat Ketua TP PKK Kelurahan Sindang Sari memang berpengalaman di bidang fashion. Lalu menyatulah energi positif diantara mereka.

Awal September 2020, ide Nining pun terwujud. Sebanyak 15 ibu menyatakan mau bergabung dalam gerakan itu. Lahirlah gerakan HAS Sabilulungan, “Yang artinya kurang lebih, Harapan Antar Sesama saling tolong menolong dalam kebersamaan,” lanjut Nining.

“Hampir semua mereka tidak bisa menjahit, kecuali dua orang yang sudah punya pengalaman,” ungkap Enny. Maka bergeraklah dirinya untuk mengajar. “Disini saya jadi menemukan kembali passion saya di bidang desain,” ungkap Enny.

Di tengah kesibukannya, Enny bergantian mengajar dengan dua ibu yang sudah berpengalaman. Pada awalnya mereka belajar membuat masker memanfaatkan potongan kain yang ada.

Bersyukur, setelah dipromosikan dalam sebuah kegiatan, maskernya ada yang berminat membeli. Sejak itulah pesanan membuat masker terus mengalir.

Menurut Nining, penghasilan pertama dipakai buat modal membeli gunting, setrikaan, meteran dan memperbaiki mesin jahit yang rusak.

“Setelah itu barulah mulai membagi keuntungan pertama kepada ibu-ibu dan masing masing mendapat Rp 45 ribu,” kenang Nining sambil tersenyum.

Mendapatkan uang bagi peserta, memang bukan tujuan utama. “Sebab yang terpenting adalah bagaimana terlebih dahulu membuat para ibu itu memiliki keterampilan,” kata Enny.

Hal itu pun disadari para peserta. “Ah saya mah belum terpikir kesitu (dapat penghasilan) sebab bisa belajar menjahit gratis saja saya sudah senang,” ungkap Warsinah, salah seorang peserta.

Itu pun menurutnya, gerakan ini sudah bisa membuat tetangganya tertarik bergabung. “Mereka tanya saya, boleh gak ikutan?” lanjutnya.

Bukan tidak mungkin ibu-ibu yang lain ikut dalam gerakan ini. Tetapi menurut Enny,ada gilirannya. Di tahap awal ini ke-15 orang inilah yang akan dikembangkan. Mengingat tempat belajarnya juga terbatas kapasitasnya.

“Padahal ada diantara ibu-ibu ini yang terkadang harus membawa anak, sehingga belajar menjahit sambil mengasuh anak,” lanjutnya. Diharapkan mereka bisa cepat mahir menjahit dan kelak bisa mengajar ke ibu-ibu anggota baru.

Perjalanan 4 bulan terakhir ini, mereka tidak hanya menghasilkan masker. Mereka juga sudah bisa menghasilkan keset, cempal, sarung bantal, taplak meja, ikat rambut kain dan membuat kain perca.

Menurut Enny, tahap berikutnya para ibu-ibu akan berlatih memotong kain dan menjahit baju. Ketika dikunjungi awal Desember kemarin, mereka sedang menggarap potongan kain perca dengan desain khusus, pesanan desiner Adrie Basuki.

Ini dukungan yang memang sangat berharga, sebab kreativitas dan kualitas hasil latihan ibu-ibu diharapkan bisa meningkat. Menyaksikan gerakan ini sudah berjalan, Mardianto bersyukur.

“Saya senang, niat saya bantu warga bisa terwujud dan kalau ada alat yang kurang akan saya carikan, juga tidak perlu bayar listrik,” katanya.

Bahkan lebih jauh lagi, gerakan ini didorong Ketua Dekranasda Kota Bogor, Yane Ardian, untuk bisa mewujudkan Sindang Sari sebagai Kampung Perca.

Menurut Yane, persiapan yang dilakukan bukan sekedar membangun infrastruktur, tetapi juga SDM-nya. Diakuinya, SDM di pelatihan kain perca HAS Sabilulungan sudah cukup baik.

Namun untuk me-launching Kampung Perca yang akan menjadi destinasi wisata baru di Kota Bogor, perlu tambahan kuantitas dan kualitas SDM-nya.

“Jumlah yang ada sekarang , bukan jumlah yang banyak untuk membuat Kampung Perca. Kita perlu lebih banyak SDM, lebih banyak pelatihan dan intervensi dari berbagai pihak. Ini yang kita siapkan sama-sama,” jelas Yane.

Kampung Perca ditargetkan bisa di-launching April mendatang. Untuk itu perlu dukungan kolaborasi semua pihak. Optimis kampung Perca bisa terwujud, karena keberadaan Kampung Perca sendiri berawal dari mimpi dan semangat warga Sindangsari.

Direncanakan, bagian tengah jalan Kampung Perca akan ditata, mulai dari pemasangan gapura, lampion dari kain perca, dan pop up store untuk warga berjualan serta rumah galeri perca.

“Ini sesuai dengan tujuan pembangunan Kampung Perca, yakni menggerakkan ekonomi masyarakat berdasarkan potensi lokal, mewujudkan kelurahan Sindangsari sebagai pusat produk perca dan destinasi wisata belanja produk perca serta menjadi salah satu daya ungkit recovery ekonomi Kota Bogor,” jelas Yane.

Sebuah harapan mulia yang berhulu dari niat mulia dan ikhtiar yang ikhlas serta semangat yang kuat dari semua yang aktif pada gerakan ini. (Advertorial)