BOGOR-RADAR BOGOR, Angka kasus gizi buruk di Kota dan Kabupaten Bogor, masih cukup tinggi. Jumlah penderitanya tak main-main, yaknu mencapai 90.435 anak. Kasus ini paling banyak terjadi di Kabupaten Bogor.
Balita yang mengalami malnutrisi mencapai 86.678 anak hingga Februari 2020. Jumlah itu terdeteksi dari total 454.433 balita yang ikut penimbangan di Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu).
Kepala Seksi Gizi pada Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Bogor, Toni Rohimat mengatakan kebiasaan masyarakat untuk hidup sehat memang menjadi tantangan. Jika melihat data, pertumbuhan kasus penderita gizi buruk di Bumi Tegar Beriman terus menukik.
Dari 50 ribu penderita gizi buruk pada tahun 2015, naik hampir dua kali lipat menjadi 98 ribu penderita pada tahun 2016. Angka ini sempat turun di tahun 2017 menjadi 58 ribu kasus. Namun tahun 2018, angka penderita gizi buruk kembali membengkak di angka 79 ribu penderita.
Puncaknya pada tahun 2019 angka balita gizi buruk menembus 100 ribu anak. “Beberapa intervensi spesifik sebenarnya sudah kami lakukan untuk menekan angka ini,” ujar Toni kepada Radar Bogor.
Intervensi yang dimaksud Toni adalah dengan pemberian suplemen kepada ibu hamil, pemberian makanan tambahan kepada ibu hamil yang kurus, promosi dan konseling tiap puskesmas maupun bidan yang ada di desa.
Sementara untuk anak yang terdeteksi terpapar gizi buruk terus dilakukan pemantauan rutin pertumbuhan anak dan balita di Posyandu. “Seperti penimbangan dan pengukuran tubuh anak,” ucapnya.
Balita juga, kata dia harus rutin melakukan imunisasi. Disertai pemberian makanan tambahan gizi kurang pada balita, dan rajin konsumsi vitamin A serta pemberian obat cacing pada ibu hamil.
Sayangnya, hal – hal ini jarang dilakukan masyarakat. “Kami juga sudah door to door jika ada ibu hamil atau anak balita yang memang tidak bisa datang ke Posyandu,” jelas Toni.
Penanganan gizi buruk, buruk gizi, maupun stunting juga harus terlepas dari penyakit lainnya. Misalnya, ada anak maupun balita yang terserang penyakit kronis. Namun anak tersebut juga menderita gizi buruk. Maka penangangan awal, haruslah pada penyakit kronisnya terlebih dahulu. “Baru penanganan soal gizinya,” bilang dia.
Dari data yang dimiliki dinkes, ada beberapa wilayah di Kabupaten Bogor yang banyak ditemui balita dengan kondisi gizi buruk. Seperti Kecamatan Caringin dan Sukajaya. Dua wilayah ini merupakan wilayah rawan gizi buruk. “Makanya pemantauan terus dilakukan kami lewat Posyandu setempat,” terangnya.
Walaupun sebenarnya intervensi kepada penderita gizi buruk bukan hanya menjadi tugas dinkes. Menurut Toni instansi pemerintahan yang lain bisa mengambil bagian dalam penanganan gizi buruk.
Sebab, masalah ini tak semata-mata karena kesehatan. Ada unsur sanitasi, kebersihan lingkungan, ketahanan pangan, kesejahteraan dan lain-lain. “Tapi yang paling penting itu adalah soal kesadaran masyarakatnya,” pungkasnya.
Gizi buruk atau yang dikenal sebagai kwashiorkor dalam dunia medis bisa diartikan sebagai kondisi ketika seseorang kekurangan asupan yang mengandung energi dan protein. Padahal protein dibutuhkan tubuh dalam proses perbaikan dan pembentukan sel-sel baru.
Gizi buruk kebanyakan menyerang anak-anak di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan 54 persen kematian bayi dan anak balita disebabkan oleh kondisi gizi buruk. Risiko kematian anak dengan gizi buruk 13 kali lebih besar dibandingkan dengan anak normal.
Selain Kabupaten Bogor, kasus gizi buruk juga masih menjadi momok bagi ‘saudara muda-nya’ Kota Bogor. Wilayah yang merupakan ring 1 atau tempat tinggalnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu belum bebas dari gizi buruk.
Data terakhir Dinkes Kota Bogor jumlah penderita gizi buruk di Kota Hujan berada di angka 54 kasus. Jumlah ini menurun dibandingkan tahun 2018 dengan 58 kasus. “Rata-rata penyebaran kasus gizi buruk hampir merata di setiap wilayah di Bogor,” ujar Kasi Pembinaan dan Pelayanan Gizi Dinkes Kota Bogor, Ida Djubaead.(dka/ded/d)