Tarif Listrik Bogor Valley Dinilai Tak Wajar, Warga Ngadu ke BPKN

0
235
Bogor-Valley
penghuni apartemen Bogor Valley yang berada di Jalan Sholeh Iskandar, Kota Bogor mengadukan persoalan kWh (Kilo Watt per Hour) listrik ke Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN).
Bogor-Valley
penghuni apartemen Bogor Valley saat mengadukan persoalan kWh (Kilo Watt per Hour) listrik ke Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN).

BOGOR-RADAR BOGOR, Ratusan penghuni apartemen Bogor Valley yang berada di Jalan Sholeh Iskandar, Kota Bogor mengadukan persoalan kWh (Kilo Watt per Hour) listrik ke Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN).

Mereka mengadukan persoalan kWh meter, yang terpasang pada 600 kWh tidak pernah diganti dan tidak ber-Standar Nasional Indonesia (SNI).

Koordinator Komisi Komunikasi dan Edukasi BPKN Arief Safari menjelaskan, pemilik apartemen dengan tipe studio membeli voucher seharga Rp100 ribu untuk 64 kWh habis dalam waktu tiga hari.

Padahal, Arief menjelaskan, pemilik apartemen menggunakan listrik secara wajar.

Menurutnya, berdasarkan informasi yang diterima, sistem pembayaran listrik dengan membeli voucher harus melalui pengelola, sehingga tidak bisa dilakukan secara mandiri.

“Kami tentunya akan investigasi dan kita coba inventarisasi permasalahan pengaduan dari warga satu persatu semuanya,” kata Arief saat mendengar aduan warga di Apartemen Bogor Valley, kemarin.

Arief menuturkan, penghuni apartemen merasa dirugikan. Sebab, kWh pra bayar yang dikelola pengembang gedung pengukuran pemakaian daya tidak tepat dan voucher cepat habis.

Menurut pengakuan penghuni, Arif menjelaskan, terdapat dua pihak yang mengaku sebagai pengurus sah Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS) yang berasal dari pengembang dan penghuni apartemen.

Sehingga, dualisme tersebut berdampak pada pengelolaan perawatan fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum) termasuk listrik.

Padahal, dia mengungkapkan, P3SRS seharusnya dibentuk dengan melibatkan penghuni apartemen usai setahun pembangunan selesai.

“Esensi membentuk (P3SRS,red) agar pengelolaan lingkungan fasos fasum dikelola warga yang notabanenya penghuni,” ucapnya.

Arief menerangkan, dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 yang termaktub dalan pasal 3 tentang tujuan Perlindungan Konsumen untuk memberikan keadilan serta kepastian hukum bagi konsumen. Sehingga, diharapkan konsumen terlindungi dalam termasuk dalam pengukuran pemakaian daya.

Dari hasil pertemuan itu, Arif menyatakan, akan segera menindaklanjuti aduan tersebut dengan mengundang pihak yang terlibat.

Di antaranya, Perusahaan Listrik Negara (PLN) terkait dengan kWh listrik pra bayar yang tidak ber-SNI, maupun pihak pengembang yang terkait dengan dualisme P3SRS.

“Kami bertugas menerima pengaduan dan mencoba membantu, memfasilitasi untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi,” kata dia.

Awal Januari 2020 lalu, penghuni apartemen mengadukan persoalan tersebut ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bogor.

Waktu itu, salah satu permasalahan yang diadukan juga terkait listrik. Pasalnya, apartemen setinggi 20 lantai itu gelap gulita.

Di tempat yang sama, warga apartemen Ponco Sambodo mempertanyakan pihak developer, yang masih ingin menguasai pengelolaan kelengkapan P3SRS apartemen tersebut.

Padahal sesuai peraturan, Ponco berpendapat, kepengurusan P3SRS seharusnya melibatkan penghuni apartemen setahun seusai pembangunan apartemen. Namun, P3SRS masih dipegang pengembang apartemen.

Ia meminta agar BPKN dapat memfasilitasi permasalahan yang dihadapi penghuni apartemen. Sehingga, polemik P3SRS dapat terselesaikan.

“Saya harap BPKN ini membantu kita dan bisa terselesaikan dengan tuntas. Dan saya harap pemilik unit bisa menikmati fasos dan fasum termasuk listrik,” tukasnya.(ded/c)