Kenali Gejala DBD, Ini Penjelasan Dinkes Kota Bogor

0
62
DBD
Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Bogor Ade Sarip Hidayat menjelaskan mengenai perkembangan kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Bogor.
DBD
Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Bogor Ade Sarip Hidayat menjelaskan mengenai perkembangan kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Bogor.

BOGOR-RADAR BOGOR, Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Bogor Ade Sarip Hidayat menjelaskan mengenai perkembangan kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Bogor.

Ia menyebut Pemkot Bogor bersama unsur Forkopimda serta stakeholder terus melakukan pemantauan, pengawasan dan edukasi kepada warga.

“Penanganan DBD di Kota Bogor tidak berbeda jauh dengan penanganan virus Convid-19. Bahkan, berdasarkan data sudah ada korban meninggal akibat DBD sehingga antisipasi terus ditingkatkan,” ungkap Ade Sarip di Balaikota Bogor, Selasa (10/3/2020).

Sementara itu, Plt Kepala Dinas Kesehatan Kota Bogor Sri Nowo Retno menambahkan, catatan Dinkes Kota Bogor menunjukan Pada Januari 2019 ada 3 korban meninggal dari 155 kasus, Februar 2019i ada 5 korban meninggal dari 162 kasus dan Maret 2019 ada 2 korban meninggal dari 92 kasus.

“Berdasarkan laporan yang masuk, pasien yang meninggal akibat DBD periode Januari-Maret 2020 ada 4 korban meninggal karena sudah tahap DSS (Dengue Shock Syndrome). Keempat korban meninggal akibat DBD masih berusia dibawah 10 tahun,” jelas Sri Nowo Retno.

Retno mengingatkan kepada warga agar virus DBD jangan sampai tertutup dengan isu Virus Covid-19. Ia menilai DBD lebih berbahaya, untuk itu dirinya secara tegas agar gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan kebersihan lingkungan kembali dilaksanakan dan ditingkatkan lagi karena itu hal yang utama. Dan hal tersebut sudah dilakukan di tingkat wilayah kecamatan, puskesmas dan bagian pemerintahan terbawah untuk memutus mata rantai agar tidak mewabah.

“Kota Bogor sendiri hampir setiap tahun masuk daerah endemis DBD. Berkaca dari tahun 2019, ada dua wilayah yaitu Bogor Barat dan Bogor Selatan,” ujarnya.

Untuk edukasi, Sri Nowo Retno menerangkan DBD disebabkan virus yang disebarkan oleh nyamuk Aedes Aegypti. Gejala awalnya panas hampir sama dengan yang lain, tidak khas. Hari pertama di cek laboratorium masih normal. Yang penting sambung Retno adalah terapi cairan.

Ketika tiga hari panas tidak turun, disarankan untuk periksa laboratorium dengan melihat trombositnya karena itu yang paling bahaya.

Memasuki hari ke-4 dan ke-5 adalah masa kritis DBD, biasanya trombosit drop dan disertai pendarahan yang tidak khas, tidak harus mimisan bahkan bisa pendarahan di dalam. Jika sudah kondisi seperti itu ditambah asupan cairan yang kurang akan menyebabkan DSS. Umumnya orang tua membawa pasien DBD ke rumah sakit dalam keadaan DSS.

“Jika sudah DSS, biasanya sulit untuk tertolong. Panas di awal sakit berdasarkan diagnosa pembanding hampir sama, jadi pada hari pertama hasilnya masih normal dan belum terdeteksi, umumnya jika panas sudah memasuki hari ketiga, disarankan harus periksa laboratorium,” tandasnya.

Bagi masyarakat Kota Bogor yang menginginkan abate, Dinas Kesehatan telah menitipkan di  posyandu melalui para kadernya dan juga kader Jumantik (Juru Pemantau Jentik). Prosedurnya adalah bagi masyarakat yang meminta abate bisa menghubungi kader posyandu di wilayahnya masing-masing.

“Kita sudah menitip di posyandu karena itu yang terdekat dengan masyarakat. Semua puskesmas sudah kita instruksikan untuk dititip di kader posyandu,” jelas Sri.

Disinggung tindakan fogging atau pengasapan, Sri menjelaskan tindakan tersebut hanya membunuh nyamuk dewasa tetapi tidak memutus rantai siklus hidup nyamuk dengan kata lain jentik nyamuk tidak akan mati.

“Lebih baik memberantas jentik-jentiknya karena itu sumber penularannya. Fogging tidak ubahnya semprotan anti nyamuk pada umumnya. Gerakan PSN dan kebersihan lingkungan lebih efektif dibanding mengandalkan fogging,” pungkasnya. (prokompim)