Cegah Window Dressing, Pemerintah-DPR Diminta Buat UU Laporan Keuangan

0
86

JAKARTA-RADAR BOGOR,Belakangan ini marak kasus praktik rekayasa laporan keuangan atau window dressing di beberapa perusahaan. Sejumlah perusahaan pelat merah pernah tersangkut kasus ini, seperti PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, PT Jiwasraya (Persero), hingga PT Asabri.

Institut Ikatan Akuntan Indonesia (IAPI) berharap agar pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membuat Undang-undang terkait sistem dan tata kelola laporan keuangan. Aturan tersebut diyakini dapat mencegah perusahaan memoles laporan keuangan.

Ketua Umum IAPI Tarkosunaryo mengatakan, pihaknya mendukung pengungkapan dan pemeriksaan kecurangan kasus Jiwasraya yang sedang berproses di Kejaksaan Agung dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). “Kami mendorong pemerintah agar menyusun undang-undang yang mengatur sistem dan tata kelola laporan keuangan untuk melengkapi UU Akuntan Publik yang mengatur auditor atas laporan keuangan,” ujarnya di Kawasan Senopati Jakarta, Senin (13/1).

Tarko menjelaskan, permasalahan utama yang dihadapi Jiwasraya yaitu upaya menyediakan dana untuk membayar kewajiban-kewajiban jatuh tempo, sehingga berujung pada upaya merekayasa laporan keuangan. “Rekayasa laporan keuangan tidak diperbolehkan untuk memperbaiki kinerja keuangan dan untuk mencapai target. Ini merupakan kecurangan,” tuturnya.

Menurutnya, laporan keuangan Jiwasraya pada 2017 lalu telah diaudit oleh akuntan publik yang menyajikan laba sebesar Rp 360 miliar. Namun laporan keuangannya mendapatkan opini dengan modifikasian. Artinya, opini laporan keuangan tersebut diberikan tanpa penjelasan jenis dan penyebab perolehan opini tersebut.

“Kami menyayangkan laporan keuangan lengkap Jiwasraya untuk Tahun Buku 2017 tidak dipublikasikan. Kalau laporan keuangan tahun 2018 dan 2019 memang belum diaudit. Laporan keuangan Jiwasraya 2016 sudah dipublikasikan dengan jumlah sekitar 500 halaman,” tuturnya.

Tarko memaparkan, opini dengan modifikasian merupakan opini dari auditor selain wajar tanpa pengecualian (WTP), yang disebabkan oleh ketidaksesuaian laporan keuangan dengan standar akuntansi. Ataupun, karena auditor kurang memperoleh bukti yang kuat.

“Atau, karena auditor kekurangan memperoleh bukti, sehingga tidak cukup untuk memberikan opini WTP,” katanya.

Laporan BPK menyatakan bahwa laporan keuangan Asuransi Jiwasraya pada 2017 mendapatkan opini tidak wajar (adverse opinion), karena kekurangan cadangan teknis sebesar Rp 7 triliun. Sedangkan direksi Jiwasraya melaporkan bahwa perusahaan BUMN ini mencatatkan laba Rp 360 miliar.

“Padahal, seharusnya tercatat mengalami kerugian Rp 7 triliun,” pungkasnya.(JWP)