JAKARTA-RADAR BOGOR, Pemerintah telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi di tahun ini. Hal tersebut disebabkan karena hampir setiap sektor usaha tertekan akibat wabah bencana Covid-19 yang menyebabkan perekonomian melemah.
Industri produk tembakau alternatif yang baru mulai tumbuh di Indonesia pun turut terimbas perlambatan perekonomian. Keadaan ini menambah tekanan kepada industri tersebut karena produknya juga sudah dikenakan tarif cukai tertinggi.
Partner of Tax Research & Training Services DDTC, Bawono Kristaji mengatakan, produk tembakau alternatif di Indonesia dikenakan tarif cukai tertinggi sebesar 57 persen yang berbeda dengan tarif cukai rokok konvensional.
Menurutnya, jika dibandingkan dengan tren di beberapa negara seperti Inggris dan Korea Selatan, negara-negara tersebut memberlakukan tarif cukai produk tembakau alternatif seperti vape dan produk tembakau yang dipanaskan relatif lebih rendah.
“Indonesia perlu mengikuti langkah negara lain yang memberlakukan tarif cukai lebih rendah untuk produk tembakau alternatif, apabila memang produk alternatif ini terbukti lebih baik dan memiliki eksternalitas negatif lebih rendah,” ujarnya, Kamis (2/4).
Karenanya, Bawono mendorong adanya kajian berbasis bukti dari sisi kesehatan terkait risiko produk tembakau alternatif. Ini penting dilakukan sebagai dasar untuk memberlakukan tarif cukai yang lebih rendah untuk produk tersebut dan juga memberi kepastian berusaha bagi pelaku industri.
Di Inggris, otoritas kesehatan sudah mengkaji hal tersebut, dan mereka sepakat. Sementara di Indonesia, dunia medis sendiri masih belum punya kata sepakat atas munculnya berbagai produk alternatif yang diklaim punya risiko kesehatan lebih rendah ini. “Masih menunggu riset berbasis bukti,” kata Bawono.
Jika otoritas kesehatan di Indonesia telah memiliki standardisasi teknis tentang jenis produk tembakau yang dinilai lebih baik, kata Bawono, penerapan tarif cukai yang lebih rendah diperlukan.
Jika tarif cukai produk tembakau alternatif tetap lebih tinggi dibandingkan rokok konvensional, menurutnya, akan ada beberapa dampak negatif yang muncul. Pertama, harga produk tembakau alternatif menjadi kurang terjangkau untuk konsumen, sehingga konsumen tetap mengonsumsi produk yang lebih berbahaya.
Kedua, tidak ada insentif yang mendorong pabrikan-pabrikan untuk berinovasi dan memproduksi produk tembakau alternatif yang lebih baik. Ketiga, maraknya produk tembakau alternatif ilegal karena produsen (pabrikan) tidak mau mendaftarkan diri karena cukainya begitu tinggi.
Menurut Bawono, sebaiknya ada kajian lebih lanjut terkait aspek kesehatan produk tembakau alternatif. Selain itu, pemerintah juga perlu menyusun standarisasi teknis terkait produk yang diklaim memiliki risiko lebih baik.
Misalnya panduan komposisi bahan baku, produk yang tidak melalui proses pembakaran, atau kewajiban produsen melakukan registrasi.
Bawono juga menegaskan, pemerintah perlu menyusun kategori sendiri untuk produk alternatif yang memiliki risiko lebih rendah dalam sistem tarif cukai. “Sebaiknya tidak setinggi sekarang, dan menggunakan sistem tarif cukai spesifik, sama seperti produk kena cukai lainnya,” tutupnya. (jpg)