JAKARTA-RADAR BOGOR, Belum jelas kapan pandemi Covid-19 di Indonesia berakhir. Meski demikian, pemerintah sudah menyiapkan skenario untuk memulihkan ekonomi tahun depan. Itu tergambar pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (RAPBN) 2021.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan, fokus kebijakan pemerintah tahun depan akan diarahkan untuk pemulihan ekonomi pascapandemi.
Pemerintah menyesuaikan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal (KEM-PPKF) dengan kondisi ekonomi yang dibayangi ketidakpastian tinggi akibat pandemi.
Realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal I 2020 yang hanya 2,97 persen, kata dia, mencerminkan adanya kontraksi yang dalam dan menuju skenario berat. Kondisi itu membuat pemerintah menakar berbagai skenario perkembangan ekonomi ke depan.
Ani, sapaan akrab Sri Mulyani, menjelaskan, tahun depan pemerintah akan memfokuskan pembangunan pada pemulihan industri, pariwisata, dan investasi. Lalu, reformasi sistem kesehatan nasional dan jaring pengaman sosial serta reformasi sistem ketahanan bencana.
’’Fokus pembangunan ini diharapkan mampu menghidupkan kembali mesin ekonomi nasional yang sedang berada dalam momentum pertumbuhan,’’ papar mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut.
Dengan berbagai dinamika itu, tahun depan pemerintah menargetkan asumsi pertumbuhan ekonomi RI mencapai 4,5–5,5 persen. Pemerintah juga menetapkan defisit anggaran tahun depan di kisaran 3,21–4,17 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Selain itu, rasio perpajakan ditetapkan hanya 8,25–8,63 persen. Posisi rasio tersebut terbilang amat rendah. Data mencatat, rasio perpajakan RI merosot sejak 2015. Jika mengacu pada standar internasional, angka tax ratio yang ideal mencapai 15 persen.
Menurut Ani, proyeksi rasio perpajakan itu telah memperhitungkan kebutuhan untuk mempercepat pemulihan ekonomi melalui tambahan insentif perpajakan (tax expenditure) dan aktivitas ekonomi yang masih memasuki proses pemulihan.
Kebijakan perpajakan tahun depan juga difokuskan pada pemberian insentif yang lebih tepat dan relaksasi untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional. Optimalisasi penerimaan melalui perluasan basis pajak serta peningkatan pelayanan kepabeanan dan ekstensifikasi barang kena cukai juga digenjot.
’’Konsistensi dalam melakukan reformasi perpajakan dan pemulihan ekonomi diharapkan mampu meningkatkan rasio perpajakan secara bertahap di masa yang akan datang,’’ terang dia.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira memandang asumsi yang dipaparkan pemerintah terbilang terlalu optimistis. Jika dilihat dari sisi pertumbuhan ekonomi, dia menilai momentum pemulihan belum bisa terealisasi secara optimal tahun depan.
’’Butuh waktu, khususnya untuk industri manufaktur untuk kapasitas produksi bisa 100 persen. Butuh waktu bagi mereka yang di-PHK diterima kembali ke sektor usaha. Ada jeda. Jadi, (asumsi makro) masih terlalu overshoot, masih terlalu optimistis,’’ ujarnya kepada Jawa Pos.
Bahkan, Bhima memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2021 masih berada di bawah 4 persen. Pertimbangan itu didasarkan pada kinerja ekspor yang masih tertekan karena pandemi di banyak negara yang menjadi mitra dagang RI.
Menurut Bhima, pemulihan ekonomi nasional amat ditentukan dua hal. Yakni, konsistensi kebijakan pemerintah dan besaran stimulus yang digelontorkan. Namun, akar masalah kembali muncul saat konsistensi kebijakan pemerintah menjadi longgar. ’’Pandeminya belum selesai, korban positif masih meningkat, tapi PSBB sudah berencana dilonggarkan. Ini kontradiktif,’’ jelasnya. (jpg)