JAKARTA-RADAR BOGOR, Terhitung mulai 1 Februari 2021, pemerintah memberlakukan kebijakan baru tarif cukai rokok. Pemerintah menetapkan kenaikan tarif cukai rokok 12,5 persen.
Kenaikan itu dikecualikan bagi industri keretek tangan. ’’Untuk industri sigaret keretek tangan, tarif cukainya tidak berubah atau dalam hal ini tidak dinaikkan,’’ kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi virtual kemarin (10/12).
Cukai produk rokok keretek tangan tidak dinaikkan karena karakter industri sigaret itu yang memiliki tenaga kerja terbuka. Industri tersebut termasuk industri padat karya yang mempekerjakan 158.552 buruh.
Ani, sapaan karib Sri Mulyani, memerinci, kenaikan tarif cukai itu meliputi industri yang memproduksi sigaret putih mesin (SPM) dan sigaret keretek mesin (SKM) (selengkapnya lihat grafis).
Dengan komposisi tersebut, rata-rata kenaikan tarif cukai adalah 12,5 persen. ’’Ini dihitung berdasar rata-rata tertimbang jumlah produksi dari tiap jenis dan golongan,’’ ujarnya.
Ada lima aspek yang diperhatikan pemerintah dalam menaikkan tarif cukai. Yakni, pengendalian konsumsi, tenaga kerja di sektor hasil tembakau, petani tembakau, rokok ilegal, dan penerimaan negara.
Bukan hanya itu, kebijakan tersebut juga dibahas dalam suasana pandemi Covid-19. Pemerintah perlu menyeimbangkan aspek unsur kesehatan dengan sisi perekonomian, yakni kelompok terdampak pandemi.
’’Dalam hal ini, kita mencoba menyeimbangkan aspek unsur kesehatan dan di saat yang sama mempertimbangkan kondisi perekonomian umum yang terdampak Covid-19, terutama kelompok pekerja dan petani,’’ tutur mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu.
Ani mengakui bahwa kenaikan tersebut tentu menimbulkan berbagai dampak. Namun, pemerintah tetap berupaya menjamin kesejahteraan petani dan buruh yang terdampak kenaikan. Caranya, menyesuaikan kebijakan dana bagi hasil (DBH) cukai hasil tembakau (CHT).
Sementara itu, pelaku usaha industri hasil tembakau (IHT) berkeberatan dengan keputusan pemerintah menaikkan tarif CHT. Terlebih, kondisi saat ini masih pandemi Covid-19.
’’Kinerja industri sedang turun akibat pelemahan daya beli karena ada pandemi dan kenaikan cukai sendiri sangat tinggi pada2020,’’ ujar Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Henry Najoan kemarin.
Saat ini, kata Henry, industri hasil tembakau (IHT) belum mampu menyesuaikan dengan harga jual maksimal akibat kenaikan cukai 2020 yang mencapai 23 persen dan harga jual eceran (HJE) 35 persen. Sementara itu, harga rokok ideal yang harus dibayarkan konsumen tahun ini seharusnya naik 20 persen, tetapi baru sekitar 13 persen.
’’Artinya, masih ada 7 persen untuk mencapai dampak kenaikan tarif 2020. Karena itu, Gappri berkeberatan dengan kenaikan tarif cukai 2021 yang sangat tinggi tersebut,’’ tambahnya.
Kendati demikian, Gappri tetap menghormati keputusan pemerintah. Henry tetap berharap ada relaksasi bagi IHT yang memproduksi SKM maupun SPM.(jpg)