Anggaran Terbatas, Pembangunan Rumah Murah Terancam Stagnan

0
85
Ilustrasi
Perumahan murah untuk pasangan muda (Dok. JawaPos.com
Ilustrasi
Ilustrasi perumahan murah. (Dok. JawaPos.com

JAKARTA-RADAR BOGOR, Pembangunan rumah murah terancam stagnan. Penyebabnya, pemerintah hanya mengalokasi anggaran Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) senilai Rp11 triliun tahun ini. Para pengembang menilai angka ini  jauh dari kebutuhan.

Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida mengatakan bahwa anggaran 2020 sebesar Rp 11 triliun tersebut bahkan sebagian sudah terpakai untuk menutupi pembiayaan tahun 2019.

”Jadi dari total anggaran itu, sekitar 2 triliun Rupiah, sudah terpakai di 2019, jadi sisa Rp 9 triliun,” ujarnya, saat dihubungi Jawa Pos, Selasa (7/1).

Dengan sisa anggaran tersebut, lanjut Totok, hanya cukup untuk membiayai sekitar 90.000 ribu unit atau perkiraannya anggaran akan habis di bulan Maret atau April. ”Harusnya pemerintah memang merubah itu anggaran atau setidaknya mencari alternatif. Sudah pernah kita sampaikan tapi (pemerintah, red) masih tenang-tenang,” tambah Totok.

Menurut Totok, idealnya dengan target pembangunan rumah bersubsidi oleh REI sebesar 260.000 unit, membutuhkan anggaran di angka sekitar Rp 18 triliun.

REI juga mengaku sudah menyampaikan beberapa opsi alternatif jika pemerintah tidak ingin menambah alokasi FLPP. Misalnya dilakukan skema pemecahan agar lebih banyak rumah untuk MBR yang dapat dijangkau dalam program pemerintah.

Usulan skema ini, untuk konsumen dengan penghasilan maksimal sebesar Rp 4 juta disediakan subsidi anggaran sebesar Rp 1 triliun. Dengan jumlah anggaran ini maka dapat dijalankan program subsidi kredit kepemilikan rumah (KPR) dengan bunga 5 persen dengan tenor 20 tahun.

Selanjutnya, anggaran sebesar Rp 10 triliun dialokasikan kepada masyarakat dengan penghasilan maksimal Rp5 juta. Dengan peningkatan batas penghasilan ini dari Rp4 juta maka pemerintah dapat mengenakan bunga FLPP sebesar 8 persen dan tenor 20 tahun. ”Jadi supaya cakupannya lebih banyak,” beber Totok.

Selain itu, pengembang juga menyampaikan beberapa konsep alternatif. Himpunan Pengembang Pemukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) sebagai salah satu asosiasi yang juga menaungi pengembang yang membangun rumah murah menjelaskan beberapa konsep tersebut.

Pertama, Himperra mengusulkan pemanfaatan dana BPJS Ketenagakerjaan (BPJS-TK) untuk program subsidi perumahan bagi anggotanya.

”Selama ini, sekitar 70 persen pembeli rumah subsidi skema KPR FLPP yang dananya berasal dari pemerintah (APBN) itu adalah anggota BPJS-TK,” ujar Ketua Umum Himperra Endang Kawidjaja, saat dihubungi Kamis (9/1). Menurut Endang, jika 70 persen dari anggotanya itu bisa memanfaatkan dana program perumahan BPJS-TK, tentu akan lebih banyak lagi yang bisa memiliki rumah subsidi.

Lalu Himperra juga sempat menyinggung tentang efisiensi dana subsidi energi tabung gas elpiji (3 kg) yang selama ini dianggap belum sepenuhnya tepat sasaran.

”Ini hanya usulan saja, kami tidak bicara jauh, namun dari informasi yang kami dapatkan sebanyak 40 persen 75 triliun dana tersebut salah sasaran, dimanfaatkan bukan untuk orang miskin. Nah, dana itu kami usulkan bisa dimanfaatkan untuk subsidi perumahan,” beber Endang.(pin/JPC)