Sepanjang 2019, Perdagangan RI Tekor USD 3,2 Miliar

0
69

JAKARTA-RADAR BOGOR,Neraca perdagangan Indonesia sepanjang 2019 tercatat defisit USD 3,2 miliar. Angka itu didapat dari ekspor Januari–Desember 2019 yang hanya USD 167,5 miliar, sedangkan impor USD 170,7 miliar.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto menjelaskan, jika dibandingkan dengan 2018, defisit neraca perdagangan 2019 mulai mengecil. Pada 2018 lalu, defisit perdagangan mencapai USD 8,7 miliar dengan perincian ekspor USD 180 miliar dan impor USD 188,7 miliar.

“Seperti kita tahu, pada 2019 memang terjadi banyak gejolak di global sehingga memengaruhi harga-harga komoditas,” ujarnya di kantor BPS, Rabu (15/1).

Sumbangan tertinggi berasal dari bahan bakar mineral yang mencapai USD 22,2 miliar atau 14,35 persen dari porsi ekspor keseluruhan. Dari sisi impor, bahan baku penolong menjadi komponen paling besar mencapai USD 125,9 miliar.

Kemudian, barang modal mengekor USD 28,41 miliar dan barang konsumsi USD 16,41 miliar. “Selama Desember 2019, kita melihat hampir semua sektor komoditas meningkat. Beberapa yang paling signifikan adalah buah dan hasil hutan,” jelasnya.

Neraca perdagangan Indonesia dengan beberapa negara sepanjang 2019 sebenarnya masih surplus. Antara lain, ke Amerika Serikat USD 9,58 miliar, India USD 7,58 miliar, dan Belanda USD 2,20 miliar.

Yang mengalami defisit, antara lain, ke Australia USD 2,56 miliar, Thailand USD 3,95 miliar, serta Tiongkok USD 18,72 miliar. Kondisi ekonomi global yang tak menentu masih menjadi problem utama neraca perdagangan Indonesia.

Perlambatan ekonomi di negara-negara sasaran ekspor ditambah dengan berbagai konflik akan memengaruhi demand dan produksi industri dalam negeri. Ekonom Bhima Yudisthira menyebutkan bahwa neraca perdagangan Indonesia secara kumulatif pada 2019 belum menggambarkan kondisi ekonomi yang prima.

Sebaliknya, penurunan impor bahan baku dan barang menurun justru menggambarkan bahwa industri manufaktur sedang tertekan. “Belum bisa dikatakan membaik. Sebab, kinerja ekspor hanya tumbuh 1,28 persen dan sumbangan perbaikan defisit justru datang dari merosotnya impor 5,62 persen. Ini anomali. Padahal, dua jenis impor tersebut (bahan baku dan modal, Red) digunakan untuk proses produksi manufaktur,” ucapnya, Rabu.

Sementara itu, defisit neraca dagang Jatim menyusut. Pada 2019 perdagangan Jatim tercatat defisit USD 3,05 miliar. Defisit tersebut menurun dari defisit 2018 yang masih USD 5,35 miliar.

Kepala Bidang Statistik Distribusi BPS Jatim Satriyo Wibowo mengatakan, peranan ekspor perhiasan dan permata cukup besar dalam mendorong ekspor Jatim. Komoditas tersebut menyumbang USD 3,24 miliar pada 2019 atau 10,87 persen terhadap total nilai ekspor.

Ekspor perhiasan dan permata juga tumbuh positif, yakni 8,5 persen secara year-on-year (yoy). “Ekspor ini biasanya ke Swiss. Tapi, trennya ekspor ke Swiss menurun karena ada perubahan permintaan,” kata Satriyo, Rabu (15/1).

Selain perhiasan dan permata, komoditas lain yang mengalami pertumbuhan ekspor adalah kendaraan dan bagiannya, bahan kimia organik, serta daging dan ikan olahan. Kinerja ekspor nonmigas Jatim tahun lalu hanya tumbuh 1,4 persen (yoy) menjadi USD 19,37 miliar.(JWP)