IHSG Anjlok Dipicu Virus Korona, Harga Minyak Dunia, dan The Fed

0
84

JAKARTA-RADAR BOGOR, Wabah virus korona (Covid-19) memukul aktivitas pasar saham. Kemarin (12/3) indeks harga saham gabungan (IHSG) terjun bebas. Bursa Efek Indonesia (BEI) pun menutup perdagangan lebih cepat.

Penurunan tajam pasar saham terpantau pukul 15.33. Saat itu IHSG terkoreksi 5,01 persen atau 258 poin ke level 4.895,75. Sementara itu, indeks LQ45 turun 50 poin atau 6 persen ke level 769,641.

Perdagangan saham di BEI kemudian dihentikan sementara (trading halt) selama 30 menit.

Itu sesuai dengan Surat Keputusan Direksi PT Bursa Efek Indonesia Nomor Kep-00024/BEI/03-2020 tentang Perubahan Panduan Penanganan Kelangsungan Perdagangan. Dalam kondisi darurat (koreksi lebih dari 5 persen dalam sehari), BEI terpaksa melakukan trading halt.

Lantaran trading halt kemarin waktunya berdekatan dengan pukul 16.00, penghentian perdagangan dilakukan secara bersamaan dengan penutupan pasar.

Sejak pagi IHSG dibuka negatif dengan meninggalkan level 5.000. Tepatnya terkoreksi 185 poin atau 3,59 persen ke posisi 4.968. Indeks LQ45 juga melemah 42 poin (5,2 persen) ke 776.

Penutupan sesi 1, IHSG turun hingga 151 poin (2,9 persen) di posisi 5.002. Begitu pula indeks LQ45 yang merosot 25 poin (3,13 persen) ke level 794. Penurunan itu terus terjadi hingga pukul 15.33.

Deputi Komisioner Pengawasan Pasar Modal II Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Fakhri Hilmi menilai, IHSG sudah liar. Biasanya berada di level 6.000. Namun, kemarin terjun bebas di bawah 5.000. ”Jadi, year to date dari Januari sudah turun 21 persen. Dari Maret sudah turun 24 persen,” ucap Fakhri di Hotel Mercure Padang kemarin.

Fakhri menjelaskan, ada tiga faktor penyebab pasar modal tanah air tertekan. Yakni, wabah virus korona, perang harga minyak, dan penurunan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed).

WHO meningkatkan status Covid-19 menjadi pandemi. Artinya, wabah tersebar secara global. Berikutnya, perang harga minyak setelah Rusia menolak usul Arab Saudi untuk mengurangi produksi minyak. ”Harga minyak sudah menyentuh USD 30 per barel. Arab Saudi membalas dengan produksi 12,3 juta barel per hari. Itu 20 kali lipat lifting Indonesia,” ujarnya.

Lalu, keputusan The Fed menurunkan suku bunga 50 basis poin menjadi 1 hingga 1,25 persen. Suku bunga tersebut diturunkan untuk menangkal krisis di AS. ”Tapi, itu tidak berhasil. Kita lihat sampai sekarang indeks masih tertekan,” ujar Fakhri.

Sementara itu, analis pasar modal Hans Kwee menilai, beberapa hal memicu koreksi market kemarin (12/3). Pertama, kebijakan Presiden AS Donald Trump yang melarang warga Eropa masuk ke AS. Kedua, jumlah pasien Covid-19 yang meningkat berpengaruh pada aktivitas karantina pasien di beberapa negara seperti Italia. Ketiga, menjalarnya kondisi serupa ke beberapa negara Eropa lain seperti Denmark turut menjadi sentimen negatif bagi pasar.

”Lalu, pasar dalam negeri juga dikhawatirkan dengan adanya peningkatan kasus korona dan ada pasien yang meninggal,” ujar dia kepada Jawa Pos kemarin.

Ekonom Indef Bhima Yudhistira Adhinegara menuturkan, volatilitas tajam, terutama di pasar keuangan, masih akan dirasakan hingga beberapa waktu ke depan. ”Dampak korona ini cukup luas ke beberapa sektor. Pariwisata juga tertekan. Ini sudah mulai menimbulkan efek-efek yang di luar prediksi para investor,” terang dia. (pjs)